Perang padri gelombang pertama (1821 - 1825) terjadi di kota Lawas, kemudian berkembang ke daerah lainnya seperti Alahan Panjang. Pada peperangan tersebut, kaum Padri dipimpin oleh Datuk Bandaro bertempur melawan kaum Adat yang dipimpin oleh Datuk Sati. Setelah Datuk Bandaro meninggal dunia, pucuk pimpinan dipegang oleh Malim Basa (Tuanku Imam Bonjol) dan dibantu oleh Tuanku Pasaman, Tuanku Nan Renceh, Tuanku Nan Cerdik, dan Tuanku Nan Gapuk.
Pada awal peperangan ini, kaum Adat mulai terdesak kemudian meminta bantuan kepada Belanda untuk menghadapi kaum Padri. Pada tahun 1821, kaum Padri menyerbu pos Belanda di Semawang dan mengacaukan kedudukan Belanda di daerah Lintau.
Untuk lebih menguasai medan pertempuran, Belanda membangun benteng pertahanan di Batu Sangkar dengan nama Fort Von der Capellen. Pasukan Belanda beberapa kali menyerang pasukan Padri di daerah Lintau, namun tidak pernah berhasil. Pada tahun 1822, di daerah Baso terjadi pertempuran antara pasukan Padri yang dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh melawan pasukan Belanda dan kemudian pada tahun 1823 terjadi pertempuran lagi di Bonio dan Agam. Pada pertempuran kali ini, pihak Belanda dapat merebut benteng pertahanan kaum Padri. Meskipun demikian, Belanda belum memperoleh kemenangan.
Pada tahun 1825, kedudukan Belanda mulai sulit karena harus berhadapan dengan kaum Padri dan juga harus menghadapi pasukan Diponegoro di Jawa Tengah yang cukup berat. Oleh karena itu, pihak Belanda berusaha mengadakan gencatan senjata dan membuat perundingan dengan kaum Padri.
Akhirnya, pada bulan November 1825, Belanda dan kaum Padri menandatangani perjanjian damai yang berisi tentang pengakuan Belanda atas beberapa daerah sebagai wilayah kaum Padri dan untuk sementara peperangan gelombang pertama berakhir.
Bagi Anda yang ingin membaca Sejarah Perang Padri Gelombang Kedua, Anda dapat membacanya
di sini.