Tanda-tanda perang Padri gelombang kedua mulai terlihat pada tahun 1829, di daerah Pariaman, yang ditandai dengan kebencian kaum Adat terhadap perilaku Belanda yang bersikap menindas dalam bentuk kerja rodi, pembebanan pajak, dan lainnya.
Pada tahun 1830, kaum Adat mulai banyak membantu kaum Padri dan kedua kaum tersebut menyadari bahwa perlunya kerja sama untuk menghadapi Belanda bersama-sama. Dengan demikian, perang Padri gelombang kedua ini bukan lagi perang antara kaum Adat dengan kaum Padri, melainkan perang antara rakyat Minangkabau melawan penjajahan Belanda. Melihat keadaan ini, pihak Belanda mulai menyusun kembali kekuatan militernya dengan cara mendatangkan sejumlah pasukan besar dari Pulau Jawa setelah perang Diponegoro.
Pada tahun 1831, rakyat Minangkabau melakukan penyerangan terhadap Belanda di daerah Muarapalam dan pada tahun 1832 rakyat Minangkabau yang dipimpin oleh Tuanku Nan Cerdik dan Tuanku Imam Bonjol melakukan penyerangan pos Belanda di Mongopo. Namun, kedua penyerangan ini belum mendapat kemenangan.
Pada tahun 1833, terjadi pertempuran besar di daerah Agam, pihak Belanda melakukan penyerangan secara tiba-tiba dengan kekuatan militer yang maksimal. Dalam peristiwa tersebut, rakyat Minangkabau banyak yang menjadi korban dan beberapa pemimpinnya menyerahkan diri.
Pada tahun 1834 hingga tahun 1835, pemerintah Belanda mulai mengepung benteng Bonjol, menutup jalan menuju Bonjol, dan menduduki kota-kota di sekitar Bonjol. Meskipun dalam kondisi tertekan, prajurit Minangkabau tetap bertahan di benteng Bonjol. Pada tahun 1837, pasukan Belanda gencar melakukan penyerangan terhadap benteng Bonjol. Akhirnya, pada tanggal 25 Oktober 1837, benteng pertahanan Kota Bonjol jatuh ke tangan Belanda. Tuanku Imam Bonjol ditangkap dan diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat, kemudian dipindahkan ke Minahasa hingga wafat dan dimakamkan di Pineleng (dekat kota Manado).
Bagi Anda yang ingin membaca Sejarah Perang Padri Gelombang Pertama, Anda dapat membacanya
di sini.