Kesultanan Aceh dirintis oleh Muzaffar Syah pada abad ke-15. Akan tetapi, status kesultanan penuh baru diperoleh di bawah pemerintahan Ali Mughayat Syah. Kejayaan Aceh dimulai pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Ridyat Syah. Di bawah pemerintahannya, Aceh menjadi pelabuhan utama bagi para pedagang muslim mancanegara maupun Nusantara untuk memperoleh rempah-rempah. Hal tersebut dikarenakan keengganan para pedagang muslim untuk berdagang lagi di Malaka yang telah dikuasai oleh orang Portugis.
Pesatnya perdagangan internasional di Aceh menyebabkan kesultanan tersebut dapat membangun sebuah angkatan laut yang kuat. Untuk memantapkan kedudukannya, Aceh juga membangun hubungan diplomatik dengan Kesultanan Turki Ottoman yang dianggap sebagai pemegang kekuasaan tertinggi Islam pada masa itu.
Puncak kejayaan Kesultanan Aceh terjadi pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Di bawah kepemimpinannya, kekuasaan Aceh meluas hingga meliputi daerah Johor, Pahang, Perlak, Kedah, dan pantai barat Sumatra, seperti Tiku, Pariaman, dan Bengkulu. Selain itu, Aceh juga menguasai perekonomian di daerah Sumatra Utara dan Selat Malaka. Untuk memperkuat perolehannya itu, Iskandar Muda berusaha merebut Malaka dari tangan Portugis namun mengalami kegagalan.
Pengganti Iskandar Muda ialah Iskandar Tsani. Tidak seperti pendahulunya, Tsani lebih memperhatikan pembangunan dalam negeri dari pada melakukan perluasan wilayah Kesultanan Aceh. Setelah kematian Iskandar Tsani, Aceh mengalami kegelisahan dan pergolakan karena dia tidak meninggalkan seorang putra mahkota. Di tengah-tengah krisis ini, sejumlah wilayah melepaskan diri dari kekuasaan kesultanan tersebut. Akibatnya, Aceh perlahan-lahan mengalami kemunduran. Akan tetapi, usia kesultanan tersebut masih cukup panjang sebelum akhirnya jatuh ke tangan Belanda pada awal abad ke-20.