Gelombang penolakan terhadap Belanda memang terjadi berbagai tempat di nusantara. Tak luput aceh sebagai pemeran perdagangan penting dunia saat itu. Perang Aceh meletus pada tahun 1873 ketika terjadi pertentangan kepentingan politik dan ekonomi antara Kesultanan Aceh dan pemerintah kolonial Belanda. Belanda sudah memiliki keinginan untuk menguasai Aceh sejak tahun 1824, saat itu Aceh terkenal sebagai penghasil separuh persediaan lada di dunia. Kesempatan diperoleh ketika Inggris membiarkan Belanda menguasai Aceh daripada jatuh ke tangan Amerika Serikat atau Prancis.
a. Sebab-sebab umum
1) Belanda melaksanakan Pax Nederlandica.
2) Aceh merupakan daerah yang strategis bagi pelayaran dan perdagangan yang menolak campur tangan Belanda.
3) Inggris tidak akan menghalangi jika Belanda memperluas daerah ke Sumatra.
b. Sebab khusus
Aceh menolak terhadap penguasaan Belanda atas Sumatra, walaupun secara sepihak Belanda telah mengeluarkan Traktat Sumatra (1871) (yang memberi hak Belanda dapat berkuasa di Sumatra). Untuk menghadapinya, Aceh bersahabat dengan Turki dan Amerika Serikat.
Di Aceh terdapat dua kelompok pemimpin rakyat.
1) Golongan bangsawan yang berjiwa nasionalis (golongan teuku): Teuku Umar, Dawotsyah, Panglima Polim, Muda Bae'et, dan Teuku Leungbata.
2) Golongan ulama (golongan tengku) dipimpin Tengku Tjik Di Tiro.
Di Aceh masa perang melawan Belanda bisa dibagi menjadi tiga masa yaitu Masa permulaan, Masa konsentrasi, dan Masa Akhir.
1) Masa permulaan (1873 – 1884)
Belanda menyerang di bawah Kohler, tetapi Kohler sendiri tewas sehingga Belanda menarik pasukannya. Pimpinan pasukan diganti oleh Van Swietten yang berusaha membentuk pasukan jalan kaki (infateri), pasukan berkuda (kavaleri), dan pembangunan militer (genie). Semangat rakyat Aceh tidak kendor, bahkan Jenderal Van der Heyden tertembak sehingga buta (jenderal buta).
2) Masa konsentrasi stelsel (1884 – 1896)
Pada masa ini, Tengku Tjik Di Tiro gugur. Karena itu, Teuku Umar mengubah cara dengan berpura-pura menyerah kepada Belanda (tahun 1893). Belanda memberi penghargaan berupa uang $18.000, 800 senjata, 250 tentara, dan Teuku Umar diberi gelar Teuku Johan Pahlawan. Hal itu hanya merupakan siasat saja, Teuku Umar kembali menyerang Belanda bersama istrinya Tjoet Nja'Dien. Belanda merasa sulit menundukkan Aceh sehingga memanggil Dr. C. Snouck Hurgronje untuk meneliti budaya Aceh. Tersusunlah buku yang berjudul De Atjeher.
3) Masa akhir perlawanan (1896 – 1904)
Pada tahun 1899 di Meulaboh, Teuku Umar gugur. Perjuangannya dilanjutkan Tjoet Nja' Dien yang terus bergerilya. Karena Aceh sudah tidak berdaya, Belanda mengeluarkan Plakat Pendek yang isinya:
a) Aceh mengakui kedaulatan Belanda di Sumatra,
b) Aceh tidak akan berhubungan dengan negara asing, dan
c) Aceh akan menaati perintah Belanda.