Setelah Sultan Agung Hanyakrakusuma wafat pada tahun 1645, kedudukannya digantikan oleh putranya yang bergelar Susuhunan Amangkurat I. Raja Mataram yang baru ini kelihatan lemah dan tidak menunjukkan kemampuan seperti Sultan Agung. Gejala ini ditandai dengan tindakannya yang keliru, yaitu membuat perjanjian dengan kompeni yang isinya mengizinkan VOC berdagang di semua bandar wilayah Mataram.
Kebijakan Amangkurat I menimbulkan kegelisahan rakyat karena buruknya cara ia memerintah hingga akhirnya pada tahun 1674 meletuslah pemberontakan rakyat yang dipimpin oleh Trunojoyo, putera Bupati Madura. Trunojoyo mendapat dukungan dari para pengungsi Makasar yang dipimpin oleh Karaeng Galesong dan Montemarano.
Trunojoyo sempat menyerbu ibu kota Mataram di Yogyakarta dan merusak keratonnya yang mengakibatkan Amangkurat I terdesak dan melarikan diri untuk meminta bantuan kepada Belanda. Sebelum upayanya untuk mendapatkan bantuan kepada Belanda tercapai, Amangkurat I dalam perjalanannya terlebih dahulu meninggal dunia di Tegalwangi (dekat kota Tegal).
Pada tahun 1677, putera mahkota naik tahta sebagai raja Mataram dengan gelar Amangkurat II. Sebagai imbalan atas bantuannya, Amangkurat II menandatangani perjanjian yang berisi tentang pemberian hadiah kepada Belanda berupa bandar di Semarang, hak perdagangan yang luas, seluruh daerah Jawa Barat di sebelah selatan Batavia, dan pembayaran semua ongkos perang dengan jaminan beberapa bandar di pantai utara pulau jawa.
Setelah Trunojoyo tertangkap dan dijatuhi hukuman mati (tahun 1679), kerajaan Mataram selalu mendapat pengaruh dari pemerintah Hindia Belanda.
Baca Juga Artikel tentang
Laptop Murah