Kedatangan bangsa Portugis ke Semenanjung Malaka dan ke Kepulauan Maluku merupakan perintah dari negaranya untuk berdagang. Setelah Portugis mulai berdagang dan mengetahui keuntungan yang diperoleh sangat besar, mereka akhirnya berniat menguasai perdagangan dengan cara monopoli. Perilaku bangsa Portugis dan praktik monopoli yang dilakukannya sangat merugikan kerajaan Malaka, Aceh, dan Maluku sehingga mendapat perlawanan fisik dari rakyat setempat.
Perlawanan Rakyat Malaka Terhadap Portugis
Kerajaan Malaka cukup dikenal oleh pedagang-pedagang dari luar negeri, seperti pedagang dari Gujarat, Bengali, Persia, Arab Saudi, Siam, Aceh, Demak, Ternate, dan Tidore. Hal ini cukup beralasan karena Kerajaan Malaka memiliki pelabuhan laut yang letaknya sangat strategis untuk para pelaut sekaligus untuk para pedagang yang berasal dari arah barat menuju arah timur, dan sebaliknya. Sebelum kedatangan Portugis, para pedagang yang datang ke Malaka dapat berdagang dengan bebas dan lancar dalam suasana damai tanpa permusuhan. Akan tetapi, situasi yang damai tersebut berubah menjadi ketegangan, ketika bangsa Portugis dan bangsa Eropa lainnya mendarat di Malaka dan di Indonesia dengan tujuan memonopoli perdagangan.
Pada tahun 1511, armada Portugis yang dipimpin oleh Albuquerque menyerang Kerajaan Malaka. Serangan Portugis ini mendapat perlawanan keras dari rakyat dan gerilyawan Malaka yang dipimpin oleh Katir.
Upaya kerajaan Demak bekerja sama dengan Katir untuk menyerang kolonial Portugis di Malaka yang terjadi pada tahun 1513 mengalami kegagalan karena kekuatan dan persenjataan Portugis lebih kuat dan lebih modern. Pada tahun 1527, armada Demak di bawah pimpinan Falatehan dapat menguasai Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon. Armada Portugis dapat dihancurkan oleh Falatehan dan ia kemudian mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta (Jakarta).
Perlawanan Rakyat Maluku Terhadap Portugis
Bangsa Portugis kali pertama mendarat di Maluku, terutama di Kerajaan Ternate pada tahun 1511, setelah mereka menguasai Kerajaan Malaka. Kedatangan Portugis di Maluku berikutnya pada tahun 1513 bertujuan menjalin kerja sama di bidang perdagangan, terutama rempah-rempah, dengan Kerajaan Ternate, Tidore, Bacan, dan beberapa kerajaan kecil di sekitarnya. Hubungan kerja sama di bidang perdagangan antara rakyat Maluku dengan Portugis pada saat itu dapat berjalan dengan baik. Akan tetapi, Ternate merasa dirugikan oleh Portugis karena keserakahannya dalam memperoleh keuntungan melalui usaha monopoli perdagangan rempah-rempah.
Pada tahun 1533, Sultan Ternate menyerukan kepada seluruh rakyat Maluku, Papua/Irian, dan Jawa agar membantu Ternate untuk mengusir Portugis di Maluku. Perlawanan tersebut berakhir dengan perundingan damai dan bangsa Portugis masih diberi kesempatan untuk bertempat tinggal sementara di Ternate.
Pada tahun 1570, rakyat Ternate yang dipimpin oleh Sultan Hairun dapat kembali melakukan perlawanan terhadap bangsa Portugis yang masih berusaha untuk menguasai perdagangan. Namun, Sultan Hairun dapat diperdaya Portugis hingga akhirnya tewas terbunuh di dalam benteng Duurstede. Perlawanan rakyat Maluku terhadap Portugis selanjutnya dipimpin oleh Sultan Baabullah pada tahun 1574. Perlawanan rakyat Ternate kali ini berhasil dan bangsa Portugis diusir yang kemudian bermukim di Pulau Timor.